Rabu, 31 Oktober 2007

0 Alasan Mengapa Ospek Harus Dihapuskan Dari Sistem Pendidikan di Indonesia

Thursday, 24.08.2006 9:59

10 Alasan Mengapa Ospek Harus Dihapuskan Dari Sistem Pendidikan di Indonesia

Posted on Social Life.

Hari ini saya mengantar teman saya yang menjadi panitia ospek di Fakultas Psikologi UGM. Jam masih menunjukkan pukul 04.50 pagi, namun sepanjang jalan di depan fakultas sudah dipenuhi para panitia Ospek. Beberapa mahasiswa berpakaian seragam hitam sudah tampak berjaga di jalanan. Mereka melihat saya dengan tatapan tajam, termasuk ketika saya nekat memasuki area mereka tanpa mematikan mesin motor. Saya jadi ingat, beberapa tahun yang lalu saya hampir berkelahi dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya karena mereka menghalangi saya masuk ke jalan yang sama dengan pentungan di tangan dan wajah arogansinya, padahal saya juga panitia OSPEK di kampus yang berbeda.

Seperti yang kita ketahui OSPEK atau apapun namanya kini, telah menjadi suatu tradisi yang melembaga sejak dahulu pada institusi pendidikan di Indonesia seperti SMA dan Perguruan Tinggi terutama pada masa penerimaan pelajar/ mahasiswa baru.

DCP_0017.jpg

Pada dasarnya kegiatan OSPEK memiliki tujuan mulia untuk mempersiapkan pelajar/ mahasiswa baru untuk memasuki lingkungan pendidikan yang baru dengan serangkaian acara ceramah, tugas-tugas aneh, tetek bengek atribut-atribut, segudang sanksi hukuman yang dipadatkan dalam beberapa hari.

Sejak tahun 1995an, kasus OSPEK mulai muncul di media publik seiring dengan banyaknya korban yang terus berjatuhan. Lalu OSPEK pun berganti-ganti baju untuk memperhalus dan memulihkan citranya sebagai ajang penggojlokan.

Sudah banyak tulisan di media massa yang membahas mengenai keburukan OSPEK, bahkan blog Pak Priyadi juga menyuarakan ketidaksetujuan dengan OSPEK :
Ospek, Ajang Ekspresi Impulsi Kekerasan, dan Jati Diri Praksis Pendidikan
Ospek Mahasiswa Tiru Pola Militeristik
Kekerasan Pada Sistem Pendidikan Indonesia

Bagi saya sendiri, OSPEK adalah budaya PEMBODOHAN yang terus dilestarikan untuk memenuhi kepuasan nafsu kekuasaan dan ekspresi agresifitas sekelompok orang semata dalam lingkungan pendidikan. Berikut ini 10 alasan mengapa OSPEK harus dihapuskan dari sistem pendidikan di Indonesia :

1. OSPEK hanya melestarikan budaya feodal dengan mewajibkan para peserta untuk menghormati paksa senior dan menuruti segala kehendak senior. Hanya terkesan memuaskan para senior yang ’sok gila kuasa’ dan menganggap rendah status mahasiswa baru tak lebih sebagai budaknya.

2. Pelaksanaan OSPEK selama ini yang bermaksud menanamkan kedisiplinan dengan hukuman dan bentakan hanyalah sebuah bentuk militerisasi dalam kampus. Ini adalah bentuk KEMUNAFIKAN mahasiswa yang katanya anti militerisme dalam kampus tetapi malah melestarikan militerisme dari waktu ke waktu.

3. Penanaman nilai-nilai baru dalam waktu yang singkat dan dalam tekanan adalah sangat TIDAK EFEKTIF ditinjau dari faktor psikologi. Mahasiswa yang tidak tidur ataupun kelelahan karena mengerjakan setumpuk tugas tidak memiliki kesiapan maksimal untuk menerima informasi baru.

4. Pembuatan aneka atribut yang aneh-aneh merupakan suatu pemborosan uang dan waktu semata, tak sebanding dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam serangkaian aneka atribut tersebut.

5. Thorndike, seorang ahli psikologi pembelajaran menyatakan bahwa hukuman tidak efektif untuk meniadakan suatu perilaku tertentu. Begitu halnya dengan hukuman dan sanksi pada OSPEK tidak akan efektif membuat seorang mahasiswa untuk menghilangkan perilaku-perilaku buruknya.

6. Kekuasaaan sangat dekat dengan kekerasan, maka tak heran jika panitia yang memiliki wewenang dan derajat lebih tinggi dari mahasiswa baru akan melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis kepada mahasiswa baru.

7. Tak dapat dipungkiri bahwa terkadang OSPEK merupakan sarana balas dendam bagi senior atas perlakuan kakak kelas yang mereka alami pada waktu dulu. Rasa dendam akan selalu muncul dalam segala perlakuan yang menyakitkan, namun berhubung OSPEK adalah sesuatu yang dilegalkan sehingga kesempatan membalas hanya mungkin dilakukan pada OSPEK tahun berikutnya.

8. OSPEK memang terbukti mengakrabkan para mahasiswa, namun proses keakraban pada mahasiswa akan terjadi dengan sendirinya ketika mahasiswa mulai beraktivitas dalam kampus tanpa perlu dipaksakan dalam suatu penderitaan.

9. Setiap orang memiliki kerentanan psikologis yang berbeda-beda, sehingga hukuman yang serampangan ataupun perlakuan yang menekan mental pada OSPEK dapat menimbulkan suatu TRAUMA PSIKOLOGIS tersendiri bagi beberapa orang. Trauma ini pada akhirnya akan menimbulkan abnormalitas kejiwaan seseorang.

10. Kenangan dalam OSPEK hanya menciptakan romantisme tertentu ketika diceritakan beberapa waktu setelah OSPEK, namun tentunya setiap orang tidak ingin mengalami OSPEK untuk beberapa kali lagi. Ini merupakan bukti bahwa setiap orang tidak menginginkan OSPEK terjadi lagi dalam hidup mereka. *Coba tanyakan juga pada mahasiswa baru tentang kesan OSPEK.

10 Alasan diatas sudah cukup untuk menghapuskan OSPEK dari sistem pendidikan di negara kita.

Solusi yang saya tawarkan untuk mengganti OSPEK, yaitu :

Pemberian informasi mengenai lingkungan kampus dan sekitarnya dapat dilakukan dalam satu matakuliah umum dalam beberapa kali pertemuan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan dalam kelompok yang dipandu dan difasilitator oleh mahasiswa yang lebih senior. Dinamika kelompok kecil akan lebih terasa dibandingkan kelompok besar, sehingga keakraban antar mahasiswa dalam kelompok maupun antar kelompok pun akan semakin terjalin dengan baik.

Penanaman nilai-nilai dan informasi baru sangat efektif dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dalam rupa permainan-permainan ringan tanpa hukuman. Hadiah telah terbukti efektif dalam membentuk dan mempertahankan suatu perilaku baru.

Sistem Kredit Poin per Materi dapat juga digunakan sebagai hadiah (rewards). Misalnya 1 poin untuk datang tepat waktu, 1 poin untuk kerapian, 1 poin untuk mengenal denah gedung kuliah. Jika mahasiswa tidak memperoleh standar poin tertentu, mahasiswa harus mengulang kegiatan tersebut di tahun depan ataupun pengurangan jumlah sks yang diambil.

Hal yang menyenangkan akan selalu diingat sebagai kenangan yang menyenangkan pula, dan tidak menimbulkan trauma.

Catatan :
OSPEK jaman lampau atau kegiatan yang menggunakan kedisiplinan semi-militer baik mental maupun fisik lebih baik diterapkan pada organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti Pecinta Alam, Pramuka, dan MENWA bukan pada lembaga pendidikan umum seperti sekolah dan perguruan tinggi.

Inilah keadaan OSPEK 2002, panitia OSPEK Fakultas Ilmu Budaya UGM dengan berbagai senjatanya sedang mengintimidasi para mahasiswa yang ketakutan (lihat penanda lingkaran : busur panah, tongkat kayu, tongkat bisbol, senjata yang lain tidak terekam dalam kamera karena saya sudah didorong-dorong untuk keluar arena).


DCP_0037.jpg





dikutip dari http://blog.kenz.or.id/2006/08/24/10-alasan-mengapa-ospek-harus-dihapuskan-dari-sistem-pendidikan-di-indonesia.html

Ospek Bervisi, Kebebasan Minus Kekerasan Akademik

Ospek Bervisi, Kebebasan Minus Kekerasan Akademik
Oleh ATIP TARTIANA

IDE awal pendirian perguruan tinggi adalah untuk menciptakan manusia-manusia intelektual yang manusiawi yang sanggup berpikir dan bekerja untuk masyarakat dan negaranya. Perguruan tinggi didirikan untuk menjadikan manusia lebih manusiawi (J. Drost S. J. dalam Frisma, 1990).

Ide tersebut hanya bisa dicapai jika suatu perguruan tinggi sanggup menghargai, menumbuhkan, sekaligus mengembangkan prinsip kebebasan akademik. Tradisi kebebasan akademik tentunya tidak hanya harus dimiliki dan dikembangkan oleh seorang pengajar tapi juga mahasiswa. Sebagai bagian dari civitas academica sekaligus mitra strategis para pengajar di kampus, mahasiswa memiliki kebebasan yang otonom untuk menyampaikan pikiran-pikirannya tanpa harus merasa takut pada dosennya, pejabat kampus, penguasa politik, lembaga agama, atau entitas berpengaruh lainnya.

Tradisi kebebasan akademik dapat dipraktikkan mahasiswa di kampus dengan cara mengembangkan tradisi diskusi, debat, tukar pikiran, atau dialog dengan sesama civitas academica . Terhadap dosen atau pejabat kampus, misalnya, mahasiswa dapat mengajukan pertanyaan, pernyataan, tanggapan, jawaban, atau solusi alternatif tentang masalah yang sedang menjadi bahan pembahasan atau isu yang sedang mengemuka di kampusnya. Hal itu bisa dilakukan di depan kelas, aula, ruang rapat, ruang rektor, dan tempat-tempat lain.

Tradisi diskusi dan dialog ini sangat bermanfaat bagi kemajuan perguruan tinggi dan peningkatan kualitas civitas academica di dalamnya. Bagi mahasiswa, tradisi diskusi dengan dosen sangat bermanfaat untuk memperluas wawasan, melatih daya nalar, mengukur kapasitas intelektual, sekaligus mempertajam daya analisisnya. Sedangkan bagi dosen, tradisi bertukar pikiran dengan mahasiswa dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengukur seberapa banyak ia membaca dan mendalami buku-buku pegangannya.

Selain terhadap dosen, mahasiswa juga dapat mengembangkan prinsip kebebasan akademik dengan cara menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah atau anggota legislatif. Kritik sosial mahasiswa mesti ditempatkan sebagai wahana untuk menilai dan mengevaluasi gerak sejarah dan perkembangan masyarakat dengan parameter nilai yang dianggap ideal yaitu kemanusiaan.

Kemalasan dan ketakutan akademik

Secara psikologis dan sosial, tidak semua orang siap dan sanggup mengembangkan tradisi dan prinsip kebebasan akademik. Tradisi kebebasan akademik bahkan dalam kenyataannya hanya dapat dinikmati oleh sebagaian kecil mahasiswa. Mereka di antaranya adalah para mahasiswa yang suka bergaul di komunitas forum diskusi, pers kampus, dan gerakan mahasiswa. Di luar komunitas tersebut -- yang jumlahnya jauh lebih banyak -- adalah mahasiswa yang terjebak pada -- meminjam istilah Mochtar Buchori -- kemalasan dan ketakutan akademik. Kemalasan akademik adalah kepuasan dengan pengetahuan yang sudah ada dan kemalasan untuk berbasah peluh mendapatkan pengetahuan baru. Sedangkan ketakutan akademik yaitu ketakutan untuk mengangkat suatu persoalan nyata yang terdapat dalam kehidupan bersama menjadi suatu persoalan akademik dan menggarapnya secara terbuka.

Mahasiswa yang termasuk ke dalam kategori ini, mengutip Sudjoko dalam Menggusur Status Quo (1998), pada umumnya sangat membenci kegiatan otak yang mengandung tantangan sangat menuntut ketekunan dan pemusatan otak. Mereka membatasi diri pada apa-apa yang paling mudah dicerna, yang bersifat menghibur dan berisi lelucon. Mereka sama sekali tidak tahan menghadapi pikiran-pikiran dan perbincangan yang serius. Mereka juga tidak punya cinta dan stamina dalam studi.

Selain itu, masih menurut Sudjoko, mereka juga suka mengabaikan mutu. Tidak ada keinginan sama sekali untuk memberi atau menghasilkan mutu. Mereka sangat lekas puas dengan apa bisanya, apa jadinya, dan apa adanya. Oleh karena itu, mereka menjadi puas dengan gaya "asal", asal jadi, asal ikut, asal ngomong, asal bunyi, asal menjawab, asal main, asal nulis, dan segala macam asal lain seperti asal lulus dan asal selesai.

Akibat mengakutnya kemalasan dan ketakutan akademis, ruang kuliah menjadi sunyi dan sepi dari pendapat dan pikiran-pikiran alternatif mahasiswa yang diajukan kepada dosennya. Ruang perpustakaan hanya penuh sesak oleh mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi atau tugas akhir. Di sudut-sudut kampus sangat jarang terlihat mahasiswa yang serius mendiskusikan kehidupan sosial atau lingkungan sekitarnya. Kampus menjadi statis, kehilangan gairah intelektual gaya kaum muda.

Kondisi tersebut semakin parah setelah mendapat embusan angin hedonisme yang ditebarkan melalui media massa dan pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan yang lokasinya berdekatan dengan kampus. Akibatnya, kampus alih-alih menampakkan diri sebagai pusat pendidikan, malah semakin menyerupai supermarket. Mading-mading atau tembok-tembok kampus, alih-alih berisi pernyataan heroisme mahasiswa yang bernada kritik sosial, malah hanya dipenuhi oleh tempelan brosur iklan-iklan fashion, kafe gaul, kaset, HP produk terbaru yang sama sekali tidak ada relevansinya dengan kepentingan akademik.

Filosofi dan konsepsi ospek

Penyebab timbulnya gejala kemalasan dan ketakutan akademik di kalangan mahasiswa tidak bersifat tunggal. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun jika harus diurut, salah satunya yang bisa disebut adalah pelaksanaan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) bagi mahasiswa baru yang sudah keluar jauh dari filosofi dan konsepsinya semula.

Secara filosofi dan konsepsi, ospek dirancang untuk memperkenalkan dan mengadaptasikan kehidupan kampus kepada mahasiswa baru. Hal itu bisa dipahami karena sistem kehidupan kampus sangat berbeda dengan sistem kehidupan sekolah asalnya. Di kampus, mahasiswa baru akan menemukan banyak hal yang tidak pernah ditemui di sekolah asalnya. Mereka, misalnya, belum mengenal proses belajar-mengajar di perguruan tinggi yang berbasis pada otonomi keilmuan dan kebebasan mimbar akademik.

Mahasiswa baru juga belum mengenal civitas academica yang akan berinteraksi dengan mereka selama menempuh pendidikan tinggi. Karena itu, mahasiswa baru memerlukan kesiapan psikologis dan sosial yang mantap sehingga dapat cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus dan proses belajar-mengajar di perguruan tinggi. Mereka juga perlu memahami cara mengakses pelayanan yang diberikan birokrasi kampus secara mudah dan efektif.

Namun demikian, ospek seringkali diselewengkan menjadi sarana pengenalan kehidupan dan karakter yang tidak ada kaitannya dengan nilai-nilai akademik. Ospek, alih-alih menyuguhkan pencerahan dan pendewasaan, malah sering mempraktikkan model penyuluhan yang bersifat doktrinal, pelanggaran etika dan kesantunan, serta arogansi kekuasaan sang senior terhadap sang juniornya. Ospek juga sering mempraktikkan tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berupa perpeloncoan yang menjurus pada kekerasan fisik dan psikis terhadap mahasiswa baru. Akibatnya, ospek tidak jarang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa peserta yang tidak ternilai harganya.

Melihat akibat-akibat yang ditimbulkan ospek, banyak pihak menilai kegiatan tahunan tersebut sama sekali tidak membawa manfaat bagi mahasiswa baru khususnya dan bagi civitas academica umumnya. Tidak heran kalau kemudian banyak pihak pula yang menolak dan menuntut agar kegiatan ospek dihapuskan.

Penilaian negatif tersebut tentu saja tidak bisa diluruskan dengan hanya menggunakan bahasa verbal bahwa ospek sesungguhnya sangat penting untuk mengantarkan dan mengadaptasikan mahasiswa baru pada tradisi kehidupan kampus sehingga mereka tidak akan mengalami kesulitan yang bararti saat mengikuti proses perkuliahannya kelak. Diperlukan bahasa tindakan konkret di lapangan empirik untuk meyakinkan banyak pihak bahwa ospek merupakan kegiatan penting dan bisa membawa manfaat bagi mahasiswa baru.

Karena itu, ospek harus dikembalikan pada filosofi dan konsepsi semula. Ospek yang selama ini sering memperlihatkan kekerasan fisik dan psikis harus diganti dengan ospek yang bervisi humanis dan mencerahkan jiwa dan pikiran mahasiswa baru. Ospek yang selama ini hanya mempertontonkan hegemoni dan arogansi kekuasaan harus diganti dengan ospek yang lebih memperlihatkan kearifan, kesantunan, dan keramahan yang mendidik. Ospek yang selama ini sering menyuguhkan kejahatan akademik harus diganti dengan ospek berbasis pada tradisi dan prinsip kebebasan akademik.***

Penulis mantan Ketum BEM FISIP Unpas, dosen FISIP Unfari dan aktivis Institut Kajian Lingkungan dan Sosial Transformatif (Inklusif).


di kutip dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/26/0803.htm