Rabu, 31 Oktober 2007

Ospek Bervisi, Kebebasan Minus Kekerasan Akademik

Ospek Bervisi, Kebebasan Minus Kekerasan Akademik
Oleh ATIP TARTIANA

IDE awal pendirian perguruan tinggi adalah untuk menciptakan manusia-manusia intelektual yang manusiawi yang sanggup berpikir dan bekerja untuk masyarakat dan negaranya. Perguruan tinggi didirikan untuk menjadikan manusia lebih manusiawi (J. Drost S. J. dalam Frisma, 1990).

Ide tersebut hanya bisa dicapai jika suatu perguruan tinggi sanggup menghargai, menumbuhkan, sekaligus mengembangkan prinsip kebebasan akademik. Tradisi kebebasan akademik tentunya tidak hanya harus dimiliki dan dikembangkan oleh seorang pengajar tapi juga mahasiswa. Sebagai bagian dari civitas academica sekaligus mitra strategis para pengajar di kampus, mahasiswa memiliki kebebasan yang otonom untuk menyampaikan pikiran-pikirannya tanpa harus merasa takut pada dosennya, pejabat kampus, penguasa politik, lembaga agama, atau entitas berpengaruh lainnya.

Tradisi kebebasan akademik dapat dipraktikkan mahasiswa di kampus dengan cara mengembangkan tradisi diskusi, debat, tukar pikiran, atau dialog dengan sesama civitas academica . Terhadap dosen atau pejabat kampus, misalnya, mahasiswa dapat mengajukan pertanyaan, pernyataan, tanggapan, jawaban, atau solusi alternatif tentang masalah yang sedang menjadi bahan pembahasan atau isu yang sedang mengemuka di kampusnya. Hal itu bisa dilakukan di depan kelas, aula, ruang rapat, ruang rektor, dan tempat-tempat lain.

Tradisi diskusi dan dialog ini sangat bermanfaat bagi kemajuan perguruan tinggi dan peningkatan kualitas civitas academica di dalamnya. Bagi mahasiswa, tradisi diskusi dengan dosen sangat bermanfaat untuk memperluas wawasan, melatih daya nalar, mengukur kapasitas intelektual, sekaligus mempertajam daya analisisnya. Sedangkan bagi dosen, tradisi bertukar pikiran dengan mahasiswa dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengukur seberapa banyak ia membaca dan mendalami buku-buku pegangannya.

Selain terhadap dosen, mahasiswa juga dapat mengembangkan prinsip kebebasan akademik dengan cara menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah atau anggota legislatif. Kritik sosial mahasiswa mesti ditempatkan sebagai wahana untuk menilai dan mengevaluasi gerak sejarah dan perkembangan masyarakat dengan parameter nilai yang dianggap ideal yaitu kemanusiaan.

Kemalasan dan ketakutan akademik

Secara psikologis dan sosial, tidak semua orang siap dan sanggup mengembangkan tradisi dan prinsip kebebasan akademik. Tradisi kebebasan akademik bahkan dalam kenyataannya hanya dapat dinikmati oleh sebagaian kecil mahasiswa. Mereka di antaranya adalah para mahasiswa yang suka bergaul di komunitas forum diskusi, pers kampus, dan gerakan mahasiswa. Di luar komunitas tersebut -- yang jumlahnya jauh lebih banyak -- adalah mahasiswa yang terjebak pada -- meminjam istilah Mochtar Buchori -- kemalasan dan ketakutan akademik. Kemalasan akademik adalah kepuasan dengan pengetahuan yang sudah ada dan kemalasan untuk berbasah peluh mendapatkan pengetahuan baru. Sedangkan ketakutan akademik yaitu ketakutan untuk mengangkat suatu persoalan nyata yang terdapat dalam kehidupan bersama menjadi suatu persoalan akademik dan menggarapnya secara terbuka.

Mahasiswa yang termasuk ke dalam kategori ini, mengutip Sudjoko dalam Menggusur Status Quo (1998), pada umumnya sangat membenci kegiatan otak yang mengandung tantangan sangat menuntut ketekunan dan pemusatan otak. Mereka membatasi diri pada apa-apa yang paling mudah dicerna, yang bersifat menghibur dan berisi lelucon. Mereka sama sekali tidak tahan menghadapi pikiran-pikiran dan perbincangan yang serius. Mereka juga tidak punya cinta dan stamina dalam studi.

Selain itu, masih menurut Sudjoko, mereka juga suka mengabaikan mutu. Tidak ada keinginan sama sekali untuk memberi atau menghasilkan mutu. Mereka sangat lekas puas dengan apa bisanya, apa jadinya, dan apa adanya. Oleh karena itu, mereka menjadi puas dengan gaya "asal", asal jadi, asal ikut, asal ngomong, asal bunyi, asal menjawab, asal main, asal nulis, dan segala macam asal lain seperti asal lulus dan asal selesai.

Akibat mengakutnya kemalasan dan ketakutan akademis, ruang kuliah menjadi sunyi dan sepi dari pendapat dan pikiran-pikiran alternatif mahasiswa yang diajukan kepada dosennya. Ruang perpustakaan hanya penuh sesak oleh mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi atau tugas akhir. Di sudut-sudut kampus sangat jarang terlihat mahasiswa yang serius mendiskusikan kehidupan sosial atau lingkungan sekitarnya. Kampus menjadi statis, kehilangan gairah intelektual gaya kaum muda.

Kondisi tersebut semakin parah setelah mendapat embusan angin hedonisme yang ditebarkan melalui media massa dan pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan yang lokasinya berdekatan dengan kampus. Akibatnya, kampus alih-alih menampakkan diri sebagai pusat pendidikan, malah semakin menyerupai supermarket. Mading-mading atau tembok-tembok kampus, alih-alih berisi pernyataan heroisme mahasiswa yang bernada kritik sosial, malah hanya dipenuhi oleh tempelan brosur iklan-iklan fashion, kafe gaul, kaset, HP produk terbaru yang sama sekali tidak ada relevansinya dengan kepentingan akademik.

Filosofi dan konsepsi ospek

Penyebab timbulnya gejala kemalasan dan ketakutan akademik di kalangan mahasiswa tidak bersifat tunggal. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun jika harus diurut, salah satunya yang bisa disebut adalah pelaksanaan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) bagi mahasiswa baru yang sudah keluar jauh dari filosofi dan konsepsinya semula.

Secara filosofi dan konsepsi, ospek dirancang untuk memperkenalkan dan mengadaptasikan kehidupan kampus kepada mahasiswa baru. Hal itu bisa dipahami karena sistem kehidupan kampus sangat berbeda dengan sistem kehidupan sekolah asalnya. Di kampus, mahasiswa baru akan menemukan banyak hal yang tidak pernah ditemui di sekolah asalnya. Mereka, misalnya, belum mengenal proses belajar-mengajar di perguruan tinggi yang berbasis pada otonomi keilmuan dan kebebasan mimbar akademik.

Mahasiswa baru juga belum mengenal civitas academica yang akan berinteraksi dengan mereka selama menempuh pendidikan tinggi. Karena itu, mahasiswa baru memerlukan kesiapan psikologis dan sosial yang mantap sehingga dapat cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus dan proses belajar-mengajar di perguruan tinggi. Mereka juga perlu memahami cara mengakses pelayanan yang diberikan birokrasi kampus secara mudah dan efektif.

Namun demikian, ospek seringkali diselewengkan menjadi sarana pengenalan kehidupan dan karakter yang tidak ada kaitannya dengan nilai-nilai akademik. Ospek, alih-alih menyuguhkan pencerahan dan pendewasaan, malah sering mempraktikkan model penyuluhan yang bersifat doktrinal, pelanggaran etika dan kesantunan, serta arogansi kekuasaan sang senior terhadap sang juniornya. Ospek juga sering mempraktikkan tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berupa perpeloncoan yang menjurus pada kekerasan fisik dan psikis terhadap mahasiswa baru. Akibatnya, ospek tidak jarang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa peserta yang tidak ternilai harganya.

Melihat akibat-akibat yang ditimbulkan ospek, banyak pihak menilai kegiatan tahunan tersebut sama sekali tidak membawa manfaat bagi mahasiswa baru khususnya dan bagi civitas academica umumnya. Tidak heran kalau kemudian banyak pihak pula yang menolak dan menuntut agar kegiatan ospek dihapuskan.

Penilaian negatif tersebut tentu saja tidak bisa diluruskan dengan hanya menggunakan bahasa verbal bahwa ospek sesungguhnya sangat penting untuk mengantarkan dan mengadaptasikan mahasiswa baru pada tradisi kehidupan kampus sehingga mereka tidak akan mengalami kesulitan yang bararti saat mengikuti proses perkuliahannya kelak. Diperlukan bahasa tindakan konkret di lapangan empirik untuk meyakinkan banyak pihak bahwa ospek merupakan kegiatan penting dan bisa membawa manfaat bagi mahasiswa baru.

Karena itu, ospek harus dikembalikan pada filosofi dan konsepsi semula. Ospek yang selama ini sering memperlihatkan kekerasan fisik dan psikis harus diganti dengan ospek yang bervisi humanis dan mencerahkan jiwa dan pikiran mahasiswa baru. Ospek yang selama ini hanya mempertontonkan hegemoni dan arogansi kekuasaan harus diganti dengan ospek yang lebih memperlihatkan kearifan, kesantunan, dan keramahan yang mendidik. Ospek yang selama ini sering menyuguhkan kejahatan akademik harus diganti dengan ospek berbasis pada tradisi dan prinsip kebebasan akademik.***

Penulis mantan Ketum BEM FISIP Unpas, dosen FISIP Unfari dan aktivis Institut Kajian Lingkungan dan Sosial Transformatif (Inklusif).


di kutip dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/26/0803.htm

Tidak ada komentar: