Minggu, 04 November 2007

IPDN/STPDN Watch

IPDN/STPDN Watch
upaya mengingat kepentingan hajat hidup Masyarakat

- Harian KOMPAS

Perilaku Primitif dalam Tradisi Intelektual

Kekerasan adalah senjata (orang/bangsa/manusia) yang jiwanya lemah. Kelemahan jiwa merupakan kelemahan sejati.

- Mahatma Gandhi (1869-1948)

BISA dipahami jika psikolog dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Yayah Khisbiyah, menyarankan agar orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) atau perpeloncoan, yang identik dengan kekerasan, segera dihapuskan atau dihentikan. Selain mencerminkan apa yang dipaparkan Bapak Bangsa India itu, aksi penggojlokan ini merupakan warisan kolonial yang penuh nilai-nilai kesewenangan penjajah. Karena bersifat menindas, di Belanda sendiri kegiatan primitif ini sudah ditinggalkan, tetapi mengapa di Republik ini masih dilakukan?

EMPAT tahun lalu, psikolog dari Universitas Indonesia, Fawzia Aswin Hadis, menyatakan hal yang sama. “Saya lihat tujuan ospek tidak jelas dan di luar negeri kegiatan seperti ini tidak ada,” ujarnya beberapa saat setelah korban Suryowati Hagus Darayanto (21), peserta perpeloncoan di Kampus Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Jakarta, meninggal (24/8/1999).

Suara miring terhadap kegiatan ospek ini makin lama makin keras seiring dengan terus jatuhnya korban. Ny Siti Dara, ibu korban Suryo, saat itu berharap agar tidak ada lagi korban setelah anaknya. “Bila ospek terus diizinkan, akan jatuh korban lagi,” ujar Ny Siti Dara. Memang benar, tahun 2000 korban ospek jatuh lagi, yakni Erie Rakhman di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Sumedang, Jawa Barat, disusul korban Wahyu Hidayat (STPDN), pekan lalu.

Menurut Yayah, pengenalan sekolah/kampus sebenarnya dapat dilakukan dengan cara friendly dan lebih humanis, tidak perlu dengan kekerasan seperti zaman kolonial. Kalau memang untuk perkenalan senior dengan yunior, tidak perlu lewat ospek. “Secara radikal, saya menganggap solusi yang paling tepat adalah menghentikannya,” kata Yayah. Lagi pula, kampus, sebagai tempat pencerahan logika, mestinya memelopori gerakan antikekerasan.

Rektor Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Prof Eko Budihardjo MSc menilai orientasi mahasiswa baru yang dilaksanakan dengan kegiatan fisik, bahkan diwarnai kekerasan dengan alasan melatih mental, lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kegiatan semacam ini hanya menciptakan benih-benih dendam pada mahasiswa (baru) yang nantinya akan mereka lampiaskan kepada adik angkatannya.

“Kampus harus memelopori gerakan antikekerasan dengan menghapus sistem perpeloncoan. Kekuatan cinta harus diutamakan di kampus, karena dengan cinta, banyak hal produktif bisa dilakukan. Karena itu, kita punya moto, to Undip with love,” jelas Eko.

Karena itu, mulai tahun ajaran 2003/2004, Undip menghapus sistem perpeloncoan yang selama ini identik dengan penggojlokan mental dan fisik. Ketika menerima 8.295 mahasiswa baru dalam upacara penerimaan mahasiswa baru Undip 2003/2004, Eko mencanangkan gerakan antikekerasan di kampus dengan menghapus sistem perpeloncoan dalam penerimaan mahasiswa baru.

Ospek di Undip diganti dengan Pekan Penerimaan Mahasiswa Baru (PPMB). Kegiatan orientasi kampus diberikan dalam bentuk kegiatan diskusi dan kunjungan lapangan serta kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat edukatif. Kegiatan PPMB ini hampir 80 persen dilaksanakan di dalam kelas (ruangan). Tidak ada lagi bentakan-bentakan para senior kepada mahasiswa baru.

“Badan eksekutif mahasiswa (BEM) universitas bisa menerima keputusan ini, bahkan mereka terlibat dalam PPMB. Memang, ada beberapa BEM tingkat fakultas yang tetap ingin mengadakan ospek. Alasannya, selama ini kegiatan itu berjalan lancar, tidak ada kejadian apa-apa. Mereka menilai keputusan antikekerasan di kampus ini sebagai bentuk sanksi kepada mereka,” jelas Eko.

Sejak lama Undip bertekad menghapus kekerasan dalam masa perpeloncoan dengan mengimbau panitia ospek tidak menggunakan kekerasan. Namun, imbauan itu sering diabaikan sehingga kekerasan dalam ospek tetap terjadi.

Pada tahun ajaran 2002/2003, seorang mahasiswa baru Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Undip, Cecilia Puji Rahayu, meninggal dunia di tengah masa perpeloncoan di Fakultas Peternakan Undip yang diberi nama Pengenalan Kehidupan Ilmiah Kampus (Pekik). Tidak jelas apa penyebab utama kematian Cecilia, yang jelas kasus tersebut menjadi lembaran hitam dalam sejarah Undip.

“Kasus Pekik itu saya gunakan sebagai dalih sehingga mahasiswa tidak bisa menolak lagi. Terus terang, selama ini kami selalu kebat-kebit (khawatir) ketika menerima mahasiswa baru, jangan-jangan nanti ada kejadian pas ospek. Sekarang kami bisa dengan tenang menerima mahasiswa baru,” jelas Eko.

Karena itu, Eko mengimbau universitas atau perguruan tinggi lain memelopori gerakan antikekerasan dengan menghapuskan sistem perpeloncoan. Sekarang ini waktu yang tepat untuk memulai gerakan itu. Ketika kekerasan terjadi di mana-mana, kampus harus menghentikan dan mengubahnya.

Kampus harus memelopori gerakan cinta, cinta pada sesama, pada tanah air, dan bangsa. “Dengan damai, banyak hal bisa dilakukan, lebih bermanfaat. Dengan gerakan antikekerasan dalam penerimaan mahasiswa baru, rasa dendam pun tidak ada lagi,” ujar Eko.

SEANDAINYA STPDN mengikuti imbauan Eko Budihardjo, barangkali tidak akan terjadi korban ospek berikutnya. Padahal, menurut Ketua Biro Pelayanan dan Inovasi Psikologi Hatta Albanik, berdasarkan hasil rekrutmen STPDN, calon-calon siswa sudah memenuhi kriteria yang cukup baik. Mulai dari hasil tes kecerdasan, di mana IQ-nya di atas 100, dan emosi yang relatif stabil.

Ketika terjadi insiden perpeloncoan yang mengakibatkan tewasnya Wahyu Hidayat, merujuk pada kualitas individu yang menjadi masukan STPDN, Hatta menyimpulkan ada sesuatu yang salah dalam sistem itu. Apalagi, bukan sekali saja terjadi masalah yang menunjukkan terjadinya penindasan mahasiswa baru oleh seniornya.

Pengendalian dari dalam pun sudah dilakukan. Ketua STPDN Soetrisno menegaskan, tindakan tegas pemecatan terhadap pelaku penganiaya Wahyu Hidayat dilakukan sesuai prosedur “buku putih” STPDN. Dalam buku itu diuraikan sanksi kepada praja. “Jangankan membunuh, memukul praja itu sudah kena sanksi,” katanya.

“Kami serius dengan kasus ini,” tambah Soetrisno kepada wartawan pekan lalu. Tindakan pemecatan terhadap tiga praja yang ditempuh institusi, lanjut Soetrisno, merupakan suatu yang obyektif.

Ospek, atau apa pun namanya, membuka peluang terjadinya kekerasan. Bentuk aktivitas massal ini sulit dikontrol dan memberi peluang menimbulkan ekses-ekses kekerasan. Apalagi hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat yang kian meningkat agresivitasnya. Tingginya tingkat agresivitas ini membutuhkan kanalisasi yang mendapat tempat dalam bentuk-bentuk aktivitas massal tadi. Salah satu contoh aktivitas massal yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk menimbulkan ekses positif adalah olahraga.

Namun, berbeda dengan olahraga, ospek merupakan aktivitas yang cenderung destruktif atau sekurangnnya memancing tindakan destruktif pelakunya. Adapun upaya yang selama ini dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemungkinan destruktif pengumpulan massa adalah dengan tindak kekerasan yang dilakukan aparat. Aparat cenderung bertindak tidak profesional, yaitu melawan agresi dengan agresi. Akibatnya, bukannya meredam emosi massa, hal tersebut bahkan membuka peluang ke arah tindakan massa yang lebih destruktif lagi.

Hatta menilai, untuk bisa menjadi beradab, STPDN harus dikelola oleh orang beradab. Di STPDN terjadi militerisme yang dipaksakan. Bagaimana mahasiswa STPDN yang akan menjadi pejabat sipil lalu dilatih untuk disiplin dengan baris-berbaris. Padahal, disiplin adalah budaya yang harus dilaksanakan berangsur-angsur dan bukan pemaksaan. Lulusan STPDN seharusnya memproyeksikan dirinya menjadi pamong dan bertugas membimbing dalam arti mencintai rakyat.

Lulusan STPDN tidak bisa memandang pihak luar (masyarakat) sebagai budak atau musuh. Pendidikan militer memang memajukan solidaritas korps yang menganggap orang di luar mereka adalah musuh. Masalahnya, pengondisian menuju fanatisme korps inilah yang tidak tepat untuk pendidikan yang mencetak pamong praja seperti STPDN. STPDN seharusnya menghasilkan lulusan yang menganggap masyarakat di luar dirinya sebagai pihak yang harus dilayani.

Adanya gejala ospek sebagai gejala kanalisasi kekerasan juga disebabkan oleh kurang tepatnya pengelolaan. Kekerasan sebagai agresi dengan basis kekuasaan malah semakin merebak dengan buruknya kekuasaan itu. Dari sisi psikologis, memang pada usia mahasiswa terjadi luapan energi yang memerlukan kanalisasi.

Apalagi ada faktor historis di mana mahasiswa sebagai salah satu elemen penting dalam perkembangan politik Indonesia. Karena itu, mahasiswa juga membutuhkan kaderisasi dalam rangka gerakan kemahasiswaan. Namun terkadang mahasiswa bergerak tanpa konsep. Padahal, saat-saat orientasi memang penting bagi mahasiswa baru.

Salah satu bentuk yang mendekati ideal adalah aktivitas fisik yang berbentuk permainan seperti outbond. Dalam bentuk ini, instruktur mengawasi dan diawasi serta tahu apa yang harus dilakukan. “Kedisiplinan toh tidak harus ditanamkan dengan cara-cara hukuman atau lebih berbau militeristik,” tambah Yayah.

SISTEM ospek atau perpeloncoan merupakan miniatur dari kehidupan bangsa Indonesia. Orang yang belum memiliki atau memegang tampuk kekuasaan tidak dapat berkuasa. Tetapi, ketika mereka naik derajat dan mendapatkan kekuasaan, maka berkuasalah dia. “Ambruklah bangsa ini kalau semua seperti itu. Ini harus diubah,” ujar Yayah.

Direktur Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS ini mencontohkan, pendidikan di negara-negara Barat yang lebih berhasil dengan pengenalan sekolah yang lebih bersahabat. Misalnya saja, pengenalan bagian-bagian sekolah dengan cara berkeliling ke bagian-bagian di sekolah.

“Maka, tidak heran kalau sistem pendidikan di negara Barat lebih mendominasi di dunia. Jadi, kenapa kita tidak mencontoh mereka?” kata Yayah.

Namun, Koentjoro PhD, dosen Fakultas Psikologi UGM, berpendapat, konsep ospek itu sebenarnya bagus. Masalahnya ketika hal ini ditangani para senior mahasiswa, senior mahasiswa itu bervariasi, ada yang di antara mereka yang lebih menonjolkan superioritas. Kedua, kegiatan itu direcoki “teori kalap”. Ibaratnya, ada orangtua memarahi anak agar tidak nakal. Sang anak dimarahi, tetapi tidak berhenti menangis, orangtua makin marah, dipukul malahan nangis makin keras, tak mau diam, akhirnya orangtua kalap.

Hal seperti itulah yang terjadi di dunia pelonco sekarang ini, sehingga pada puncaknya sering terjadi korban luka atau meninggal. Belum lagi kalau ada mahasiswa baru yang melakukan perlawanan, resistensi, ini yang mempercepat kemunculan teori kalap. Diperintah seniornya, mahasiswa baru tidak menurut, semakin dibentak, mahasiswa baru berpikir kok saya dibeginikan, lalu ngeyel, senior makin nekat, dua-duanya nekat, hal itulah yang sering terjadi. Pada awalnya mungkin hanya interaksi dua manusia, tetapi lama-kelamaan bisa kelompok, karena ada solidaritas kelompok.

Bentrokan bisa meluas antara mahasiswa lama dan baru, bukan hanya dengan panitia pelonco. Semua itu gara-gara superioritas, apalagi tak jarang arena pelonco menjadi lahan mencari jodoh bagi mahasiswa senior, mereka ini tentu ingin menunjukkan kekuasaannya di depan mahasiswi baru. Sebenarnya, dalam kehidupan sehari-hari, gambarannya tak jauh berbeda, jika seseorang diberi kekuasaan, dia akan menunjukkan siapa dirinya.

Karena itu, sebaiknya dalam ospek dibentuk kelompok-kelompok kecil, jadi tidak besar seluruhnya. Ini ada hubungannya dengan perilaku massa, kalau sudah kumpul banyak kemudian dukung-mendukung. Jika dipecah dalam kelompok kecil, perkenalannya intensif dan kekerasan bisa dikurangi.

Kegiatan itu harus terencana. Ospek paling baik adalah menunjukkan bidang ilmu yang akan dipelajari mahasiswa baru. Misalnya memilih ke Fakultas Psikologi, berikan gambaran sejarahnya, apa itu psikologi sehingga mereka punya gambaran yang jelas.

MANAJEMEN ospek umumnya sangat buruk karena tidak terpola. Panitia hanya mempunyai program tetapi tidak dilengkapi dengan standar yang matang. “Malah pelaksanaannya cenderung ngawur karena tujuannya tidak jelas,” ujar pemerhati masalah pembinaan mental karyawan/pegawai PT Telekomunikasi Indonesia, M Pangaribuan.

Ia menunjuk dilakukannya long march, tetapi panitia tidak memiliki standar berapa lama kemampuan orang berusia 18 tahun untuk terus-menerus berjalan. Kegiatan dilakukan hingga pukul 02.00 dan dimulai lagi pukul 04.00 (istirahat hanya 2 jam), tetapi mereka tidak memiliki standar berapa lama seseorang harus istirahat. Energi dikuras, tetapi mereka tidak mempunyai standar berapa banyak kalori yang masuk untuk menggantikannya.

Pendidikan militer saja memiliki standar-standar tertentu. Misalnya, lembaga pendidikan militer di Cimahi, Bandung, mempunyai segudang pengalaman untuk program pembinaan mental (bintal) para pegawai negeri yang lamanya 2-3 bulan. Peserta bintal berpakaian militer, pertanda latihan menyerupai gaya militer tetapi tidak pernah ada orang yang meninggal sebab mereka sudah mempunyai pola atau standar. Kegiatannya ada yang disebut Minggar (Minggu Penyegaran).

Peserta Minggar diperiksa dokter dan diklasifikasikan. Hari pertama berangkat pukul 13.00 dan kembali besoknya sekitar pukul 15.00. Kegiatan yang dilakukan meliputi perjalanan, naik turun gunung, lintas sungai berlimbah, dan tidur di kuburan. Setelah Minggar, acara rutin yang setia menemani siswa adalah setiap pukul 21.00 harus apel malam dan pukul 04.00 sudah harus senam pagi.

Menjelang berakhirnya masa pelatihan, ada permainan tali yang terdiri dari turun tebing yang terjal 900 dengan ketinggian 50 meter, merayap di atas tali yang menghubungkan lembah. Kemudian ada yang menghebohkan, tali diikat di antara pepohonan di hutan berbukit sekitar 2 kilometer di malam hari, setiap 5 menit siswa diberangkatkan sendirian ke lokasi tujuan.

Pada saat berjalan seharian selalu didampingi oleh mobil dan motor; dilengkapi dengan tim kesehatan, juga hadir perwira menengah. Siswa yang kakinya lecet dan napasnya ngosngosan dinaikkan ke dalam mobil, ini adalah pola yang antisipatif. Saat CN 235 melintas di udara (kebetulan), Sersan memberi aba-aba: tiarap! Rupanya gaya ini agar siswa istirahat, lumayan sekitar 5 menit, dan ini sudah punya standar untuk setiap jarak tertentu.

Ketika tidur di kuburan, dikumandangkan puisi dan lagu Padamu Negeri, rasa takut hilang sedikit. Bangun setiap pukul 04.00 memang kepagian, tetapi istirahatnya cukup asalkan bubar apel malam langsung tidur, jangan ngobrol lagi. Dalam permainan tali tidak perlu takut karena dilengkapi tali pengaman, yang penting siap mental. Siswa dilepaskan di tengah hutan pada malam hari, sudah dipastikan bahwa lokasi itu bebas ular, atau binatang buas lainnya.

Jika waktu makan tiba, makanan disediakan penyelenggara dengan kalori yang cukup. Pola yang dianut adalah keseimbangan antara latihan fisik dan istirahat, keseimbangan antara energi yang keluar dan yang masuk, antisipatif jika terjadi emergency, dan memperlakukan siswa secara manusiawi.

Pola-pola seperti ini tidak ada dalam ospek. Maka, tidak heran kalau pelaksanaannya tidak terarah, ngawur, dan sewenang-wenang. Ironis memang, kegiatan primitif tak beradab itu justru terjadi dalam dunia pendidikan, tempat menempa manusia menjadi beradab.(ika/sie/sig/edn/dmu)


dikutip dari http://ipdnwatch.wordpress.com/opini/harian-kompas/

Tidak ada komentar: