Minggu, 04 November 2007

PLONCO = Kekerasan

PLONCO = Kekerasan


Kekerasan adalah senjata (orang/bangsa/manusia) yang jiwanya lemah. Kelemahan jiwa merupakan kelemahan sejati.
- Mahatma Gandhi (1869-1948)

Plonco ?? Aksi penggojlokan ini merupakan warisan kolonial yang penuh nilai-nilai kesewenangan penjajah. Karena bersifat menindas, di Belanda sendiri kegiatan primitif ini sudah ditinggalkan, tetapi mengapa di Republik ini masih dilakukan?
Sebenarnya dapat dilakukan dengan cara friendly dan lebih humanis, tidak perlu dengan kekerasan seperti zaman kolonial. Kalau memang untuk perkenalan senior dengan yunior, tidak perlu lewat ospek. “Secara radikal”.

Orientasi mahasiswa baru yang dilaksanakan dengan kegiatan fisik, bahkan diwarnai kekerasan dengan alasan melatih mental, lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Kegiatan semacam ini hanya menciptakan benih-benih dendam pada mahasiswa (baru) yang nantinya akan mereka lampiaskan kepada adik angkatannya.
Sekarang ini waktu yang tepat untuk memulai gerakan itu. Ketika kekerasan terjadi di mana-mana, kampus harus menghentikan dan mengubahnya. Kampus harus mempelopori gerakan cinta, cinta pada sesama, pada tanah air, dan bangsa. “Dengan damai, banyak hal bisa dilakukan, lebih bermanfaat. Dengan gerakan anti kekerasan dalam penerimaan mahasiswa baru, rasa dendam pun tidak ada lagi.

Ospek, atau apa pun namanya, membuka peluang terjadinya kekerasan. Bentuk aktivitas massal ini sulit dikontrol dan memberi peluang menimbulkan ekses-ekses kekerasan. Apalagi hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat yang kian meningkat agresivitasnya. Tingginya tingkat agresivitas ini membutuhkan kanalisasi yang mendapat tempat dalam bentuk-bentuk aktivitas massal tadi. Salah satu contoh aktivitas massal yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk menimbulkan ekses positif adalah olahraga.

Namun, berbeda dengan olahraga, ospek merupakan aktivitas yang cenderung destruktif atau sekurangnnya memancing tindakan destruktif pelakunya. Adapun upaya yang selama ini dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemungkinan destruktif pengumpulan massa adalah dengan tindak kekerasan yang dilakukan aparat. Aparat cenderung bertindak tidak profesional, yaitu melawan agresi dengan agresi. Akibatnya, bukannya meredam emosi massa, hal tersebut bahkan membuka peluang ke arah tindakan massa yang lebih destruktif lagi.
Adanya gejala ospek sebagai gejala kanalisasi kekerasan juga disebabkan oleh kurang tepatnya pengelolaan. Kekerasan sebagai agresi dengan basis kekuasaan malah semakin merebak dengan buruknya kekuasaan itu. Dari sisi psikologis, memang pada usia mahasiswa terjadi luapan energi yang memerlukan kanalisasi.

Apalagi ada faktor historis di mana mahasiswa sebagai salah satu elemen penting dalam perkembangan politik Indonesia. Karena itu, mahasiswa juga membutuhkan kaderisasi dalam rangka gerakan kemahasiswaan. Namun terkadang mahasiswa bergerak tanpa konsep. Padahal, saat-saat orientasi memang penting bagi mahasiswa baru.
Salah satu bentuk yang mendekati ideal adalah aktivitas fisik yang berbentuk permainan seperti outbond. Dalam bentuk ini, instruktur mengawasi dan diawasi serta tahu apa yang harus dilakukan.

SISTEM ospek atau perploncoan merupakan miniatur dari kehidupan bangsa Indonesia. Orang yang belum memiliki atau memegang tampuk kekuasaan tidak dapat berkuasa. Tetapi, ketika mereka naik derajat dan mendapatkan kekuasaan, maka berkuasalah dia. “Ambruklah bangsa ini kalau semua seperti itu.
Hal seperti itulah yang terjadi di dunia plonco sekarang ini, sehingga pada puncaknya sering terjadi korban luka atau meninggal. Belum lagi kalau ada mahasiswa baru yang melakukan perlawanan, resistensi, ini yang mempercepat kemunculan teori kalap. Diperintah seniornya, mahasiswa baru tidak menurut, semakin dibentak, mahasiswa baru berpikir kok saya dibeginikan, lalu ngeyel, senior makin nekat, dua-duanya nekat, hal itulah yang sering terjadi. Pada awalnya mungkin hanya interaksi dua manusia, tetapi lama-kelamaan bisa kelompok, karena ada solidaritas kelompok.

Bentrokan bisa meluas antara mahasiswa lama dan baru, bukan hanya dengan panitia plonco. Semua itu gara-gara superioritas, apalagi tak jarang arena plonco menjadi lahan mencari jodoh bagi mahasiswa senior, mereka ini tentu ingin menunjukkan kekuasaannya di depan mahasiswi baru. Sebenarnya, dalam kehidupan sehari-hari, gambarannya tak jauh berbeda, jika seseorang diberi kekuasaan, dia akan menunjukkan siapa dirinya.

Pendidikan militer saja memiliki standar-standar tertentu. Misalnya, lembaga pendidikan militer di Cimahi, Bandung, mempunyai segudang pengalaman untuk program pembinaan mental (bintal) para pegawai negeri yang lamanya 2-3 bulan. Peserta bintal berpakaian militer, pertanda latihan menyerupai gaya militer tetapi tidak pernah ada orang yang meninggal sebab mereka sudah mempunyai pola atau standar.

Pola-pola seperti ini tidak ada dalam ospek. Maka, tidak heran kalau pelaksanaannya tidak terarah, ngawur, dan sewenang-wenang. Ironis memang, kegiatan primitif tak beradab dan serba “kekerasan” itu justru terjadi dalam dunia pendidikan, tempat menempa manusia menjadi beradab.

…Dan bagaimana pendapat anda?




dikutip dari http://poea.web.id/celoteh/plonco-dan-kekerasan

Tidak ada komentar: